LINGKUNGAN PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
Jumat, 22 Mei 2015
Jumat, 27 Februari 2015
lingkungan perkembangan peserta didik
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada umumnya yang orang tua berikan adalah yang terbaik bagi
anaknya selaku peserta didik. Pendidikan dalam keluarga adalah tanggung jawab
orang tua, dengan peran Ibu lebih banyak. Karena Ayah biasanya pergi bekerja
dan kurang ada di rumah, maka hubungan Ibu dan anak lebih menonjol. Meskipun
peran Ayah juga amat penting, terutama sebagai tauladan dan pemberi pedoman.
Kalau anak sudah mendekat dewasa peran Ayah sebagai penasehat juga penting,
karena dapat memberikan aspek berbeda dari yang diberikan Ibu. Oleh karena
hubungan Ayah dan anak terbatas waktunya, terutama di hari kerja, maka Ayah
harus mengusahakan agar pada hari libur memberikan waktu lebih banyak untuk
bersama dengan anak. Padahal belum tentu semua yang diberikan sesuai yang
diharapkan. Perkembangan peserta didik
dapat dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Lingkungan
yang di maksud adalah lingkungan yang
sangat berpengaruh besar pada jiwa peserta didik, seperti keluarga dan sekolah,
terutama yang dapat memengaruhi peserta didik bagaimana perkembangannya
terhadap merespon dalam belajar.
Lingkungan yang buruk akan berpengaruh psikis anak, sehingga
peserta didik akan mengalami gejala stress. Gejala-gejala stress pada anak
memang sangat susah dikenali dibandingkan dengan gejala-gejala stress pada
orang dewasa. Ini di karenakan anak terkendala dari cara mengkomunikasikan apa
yang sedang dialaminya, perasaan takut apa yang sedang dihadapi, cederung
tertutup dan lain-lain.
Pendidik harus mengetahui
apa gejala-gejala stress pada anak. Hal ini penting, karena stress yang dalam,
dapat berakibat sangat luas pada pribadi dan prestasi anak, bahkan berpengaruh
pada perubahan tingkah laku dan fisik anak. Dengan begitu penulis menyusun makalah dengan judul “Lingkungan
Perkembangan Peserta Didik”.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi
timbal balik kegiatan peserta didik dengan belajar?
2. Bagaimana fungsi keluarga terhadap perkembangan kepribadian
anak ?
3.Bagaimana peranan sekolah dalam mengembangkan tugas
perkembangan peserta didik?
4. Bagaimana problem stress sekolah dalam perkembangan peserta
didik?
C. Tujuan
1. Mengetahui hubungan timbal
balik antara perkembangan peserta didik dengan belajar
2. Mengetahui hubungan
pendidikan keluarga dengan perkembangan peserta didik
3. Mengetahui peranan sekolah
dalam mengembangkan tugas perkembangan
peserta didik
4. Mengetahui problem stress sekolah dalam perkembangan
peserta didik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Timbal Balik antara Perkembangan Peserta Didik dengan
Belajar
Hubungan timbal balik manusia secara fisik
merupakan perubahan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki sifat
saling membutuhkan. Contohnya, para siswa tidak bisa bersekolah jika tidak ada
orang yang membangun sekolah. Begitu pun dengan Peserta didik, karena peserta
didik merupakan manusia yang mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran pada jalan pendidikan, baik formal maupun nonformal, pada jenjang
pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan
sarana untuk mengembangkan potensi tersebut yaitu dengan cara belajar. Untuk
bisa belajar efektif setiap orang perlu mengetahui apa arti belajar
sesungguhnya.
Belajar
dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang
relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif. Tetapi, tingkah laku yang timbul akibat proses
kematangan seperti gila, mabuk, lelah dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai
proses belajar. Hubungan timbal balik peserta didik dengan belajar sangat
berhubungan, karena satu sama lain akan saling mempengaruhi.Peserta didik dapat
belajar dengan baik jika sarana dan prasarana mendukung.Begitupun sebaliknya,kegiatan
belajar akan efektif jika kondisi peserta didik siap untuk belajar,sehingga
timbal balik kegiatan belajar dengan peserta didik akan mencapai tujuan
pendidikan.
Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi timbal balik kegiatan peserta didik dengan belajar adalah
sebagai berikut:
1.
Perkembangan
Fisik
Perkembagan
fisik pada anak memiliki karakteristik yang berbeda baik sebelum maupun sesudah
anak-anak. Perkembangan fisik pada anak perlu dipelajari dan dipahami oleh
setiap guru,karena dipercaya bahwa segala aktivitas-aktivitas belajar dan
aktivitas-aktivitas yang menyangkut mentalnya serta pembentukan kepribadian
dipengaruhi oleh kondisi dan pertumbuhan fisik. Contohnya adalah kesehatan.
Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya dan
bebas dari penyakit.Kesehatan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya.Proses
belajar seseorang akan terganggu, selain
itu juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat,mudah pusing,ngantuk jika
badannya lemah , kurang darah ataupun ada gangguan atau kelainan alat indera
serta tubuhnya.Agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan
kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan,
ketentuan tentang bekerja, belajar, istirahat, tidur, makan, olahraga, rekreasi
dan ibadah.
2.
Pengaruh
Psikis
Proses
psikosional melibatkan perubahan dalam aspek perasaan, emosi dan kepribadian
individu, perkembangan identitas diri, pola hubungan dengan anggota keluarga,
teman, guru dan yang lainnya. Contoh pengaruh psikis antara lain :
a.
Perhatian
Perhatian menurut Gazali adalah keaktifan jiwa
yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada suatu objek (
benda/hal) atau sekumpulan objek.Untuk dapat menjamin hasil yang baik, maka
siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan
pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbulah kebosanan, sehingga ia
tidak lagi suka belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, usahakanlah
bahan pelajaran itu sesuai dengan hobi atau bakatnya.
b.
Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang
beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus-menerus
yang disertai dengan rasa senang. Jadi berbeda dengan perhatian, karena
perhatian sifatnya sementara (tidak dalam waktu yang lama) dan belum tentu
diikuti dengan perasaan senang, sedangkan minat selalu dikuti dengan perasaan
senang dan dari situ diperoleh kepuasan. Jika terdapat siswa yang kurang
berminat terhadap belajar, dapat diusahakan agar ia mempunyai minat yang labih
besar
dengan cara
menjelaskan hal-hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan serta hal-hal yang
berhubungan dengan cita-cita serta hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita
serta kaitannya dengan bahan pelajaran yang dipelajari itu.
c. Bakat
Bakat atau
aptitude menurut Hilgard adalah: ”the city to learn”. Dengan perkata lain bakat
adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru terealisasi menjadi
kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Orang yang berbakat
mengetik, misalnya akan lebih cepat dapat mengetik dengan lancar dibandingkan
dengan orang lain yang kurang/tidak berbakat dibidangnya. Dari uraian di atas
dijelaskan bahwa bakat itu mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran yang
dipelajari sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia
senang belajar pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya.
d. Motivasi
Pengertian
dasar motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia ataupun hewan yang
mendorongnya untuk berbuat sesuatu supaya bertingkah laku secara terarah.
Motivasi
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1). Motivasi intrinsik: 2).motivasi
ekstrinsik.
Motivasi
intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari diri peserta didik sendiri
yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar.Termasuk dalam motivasi
intrinsik peserta didik adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya
terhadap materi tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan peserta
didik yang bersangkutan.
Adapun
motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu
peserta didik yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian
dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah,suri tauladan orang tua, guru, dan
seterusnya merupakan contoh-contoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat
mendorong peserta didik untuk belajar. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik
yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang
bersemangatnya peserta didik dalam melakukan proses belajar materi-materi
pelajaran baik di sekolah maupun di rumah. Dalam prespektif kognitif, motivasi
yang lebih signifikan bagi peserta didik adalah motivasi intrinsik karena lebih
murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang
lain.
3. Lingkungan Sosial dan
Nonsosial
Lingkungan sosial sekolah
seperti keluarga, guru, kepala sekolah, dan teman-teman sekolah, masyarakat
sekitar (tetangga) dapat mempengaruhi semangat belajar peserta didik. Prilaku
lingkungan sosial ini, jika memperlihatkan prilaku yang simpatik dan memberi
suri tauladan yang baik khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca,
dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar
peserta didik. Lingkungan yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar
peserta didik adalah keluarga peserta didik
itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, pengelolaan keluarga, dan demografi
keluarga bisa memberi dampak baik atau buruk terhadap kegiatan belajar dan
hasil yang di capai oleh peserta didik.
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah,
rumah dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang
digunakan pesta didik. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat
keberhasilan siswa. Dengan demikian, waktu yang digunakan peserta didik untuk
belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar
peserta didik, tak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang penting dalam belajar
melaikan sistem memori peserta didik
dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan
pengetahuan yang dipelajari pesta didik tersebut.
Perubahan peserta didik setelah melalui proses belajar akan bersifat
positif. Perubahan positif ini sangat baik dan bermanfaat, atau sesuai dengan
yang diharapkan. Hal ini juga bermakna bahwa perubahan, yakni yang diperolehnya
sesuatu yang baru seperti pemahaman dan keterampilan baru yang lebih baik
daripada apa yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh, jika seorang siswa
belajar menulis, maka di samping akan mampu merangkaikan kata dan kalimat dalam
bentuk tulisan, ia juga akan memperoleh kecakapan lainnya seperti membuat
catatan, mengarang surat, dan bahkan menyusun karya sastra atau karya ilmiah.
B.
Hubungan Pendidikan Keluarga dengan Perkembangan Peserta Didik
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memiliki peranan
terpenting dan menjadi dasar bagi perkembangan psikososial anak dalam konteks
sosial yang lebih luas.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak
berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai
suatu proses pendidikan.Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi
anak-anaknya.
Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama,
karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan
yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu
pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi
yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan
mendidik anak dirumah. Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan
mendidik anak di rumah, antara lain:
1.
Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak.
2.
Menjamin kehidupan emosional anak.
3.
Menanamkan dasar pendidikan moral anak.
4.
Memberikan dasar pendidikan sosial.
5.
Meletakan dasar-dasar pendidikan agama.
6.
Bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan anak.
7.
Memberikan kesempatan belajar dengan mengenalkan berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi
kehidupan kelak sehingga ia mampu menjadi manusia dewasa yang mandiri.
Untuk dapat menjalankan fungsi
tersebut secara maksimal, sehingga orang tua harus memiliki kualitas diri yang
memadai, sehingga anak-anak akan berkembang sesuai dengan harapan. Artinya
orang tua harus memahami hakikat dan peran mereka sebagai orang tua dalam
membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang pola pengasuhan yang
tepat, pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan ilmu tentang
perkembangan anak, sehingga tidak salah dalam menerapkan suatu bentuk pola
pendidikan terutama dalam pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri untuk mencerdasakan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan.
Pendampingan orang tua
dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik anak.
Cara orang tua mendidik anak inilah yang disebut sebagai pola asuh. Setiap
orang tua berusaha menggunakan cara yang paling baik menurut mereka dalam
mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik maka hendaklah orang tua
mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang
tepat dalam mendidik anak.
1. POLA ASUH OTORITATIVE (OTORITER)
a.
Cenderung tidak memikirkan apa yang terjadi di kemudian hari fokus lebih pada masa kini.
b.
Untuk kemudahan orang tua dalam
pengasuhan.
c.
Menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang
ditentukan sepihak oleh orang tua.
Efek pola asuh
otoriter terhadap perilaku belajar anak :
a.
Anak menjadi tidak percaya diri, kurang spontan ragu-ragu dan pasif, serta memiliki masalah
konsentrasi dalam belajar.
b.
Ia menjalankan tugas-tugasnya lebih disebabkan oleh takut hukuman.
c.
Di sekolah memiliki kecenderungan berperilaku antisosial, agresif,
impulsive dan perilaku mal adatif lainnya.
d.
Anak perempuan cenderung menjadi dependen.
2. POLA ASUH PERMISIVE (PEMANJAAN)
Segala sesuatu terpusat pada kepentingan anak, dan orang
tua/pengasuh tidak berani menegur, takut anak menangis dan khawatir anak kecewa.
Efek pola asuh
permisif terhadap perilaku belajar anak
:
a.
Anak memang menjadi tampak responsif dalam belajar, namun tampak
kurang matang (manja), impulsive dan
mementingkan diri sendiri, kurang percaya diri (cengeng) dan mudah
menyerah dalam menghadapi hambatan atau
kesulitan dalam tugas-tugasnya.
b.
Tidak jarang perilakunya disekolah menjadi agresif.
3. POLA ASUH INDULGENT (PENELANTARAN)
a.
Menelantarkan secara psikis.
b.
Kurang memperhatikan perkembangan psikis anak.
c.
Anak dibiarkan berkembang sendiri.
d.
Orang tua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri karena kesibukan.
Efek pola asuh indulgent terhadap perilaku belajar anak :
a. Anak dengan pola asuh
ini paling potensial telibat dalam kenakalan remaja seperti penggunaan
narkoba, merokok diusia dini dan tindak kriminal lainnya.
b. Impulsive dan agresif
serta kurang mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas atau kegiatan.
c. Anak memiliki daya tahan
terhadap frustrasi rendah.
4. POLA ASUH AUTORITATIF (DEMOKRATIS)
a.
Menerima anak sepenuh hati, memiliki wawasan kehidupan masa depan
yang dipengaruhi oleh tindakan-tidakan masa
kini.
b.
Memprioritaskan kepentingan anak, tapi tidak ragu-ragu
mengendalikan anak.
c.
Membimbing anak kearah kemandirian, menghargai anak yang memiliki
emosi dan pikirannya sendiri.
Efek pola asuh autoritatif terhadap perilaku belajar anak:
a. Anak lebih mandiri,
tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan introspeksi serta
pengendalian diri.
b. Mudah bekerjasama dengan
orang lain dan kooperatif terhadapo aturan.
c. Lebih percaya diri akan
kemampannya menyelesaikan tugas-tugas.
d. Mantap, merasa aman dan
menyukai serta semangat dalam tugas-tugas belajar.
e. Memiliki keterampilan
sosial yang baik dan trampil menyelesaikan permasalahan.
f. Tampak lebih kreatif
dan memiliki motivasi berprestasi.
Menyepakati pola asuh yang paling
efektif dalam keluarga adalah penting, karena pola asuh pada tahun-tahun awal
kehidupan seseorang akan melandasi kepribadiannya dimasa datang. Perilaku
dewasa dan ciri kepribadian dipengaruhi
oleh berbagai peristiwa yang terjadi
selama tahun-tahun awal kehidupan, artinya antara masa anak dan dewasa
memiliki hubungan berkesinambungan.
C.
Peranan Sekolah dalam Mengembangkan Tugas Perkembangan Peserta Didik
Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk
melaksanakan pendidikan. Karena kamajuan zaman, maka keluarga tidak mungkin lagi
memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi anak terhadap iptek. Semakin maju suatu
masyarakat, semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda
sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat itu.
Suatu alternatif yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan sekolah
dalam perannya sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi
sekolah, antara lain:
1.
Pengajaran
yang mendidik
Yaitu
pengajaran yang serentak memberi peluang pencapaian tujuan intruksional bidang
studi dan tujuan-tujuan umum pendidikan lainnya. Dalam upaya mewujudkan
pengajaran yang mendidik, perlu dikemukakan bahwa setiap keputusan dan tindakan
guru dalam rangka kegiatan belajar mengajar akan membawa berbagai dampak atau
efek kepada siswa.
Pemilihan
kegiatan belajar yang tepat, akan memberikan pengalaman belajar siswa yang
efisien dan efekti untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhya. Hal ini dapat
dilaksanakan dengan konsisten apabila guru memiliki wawasan kependidikan yang
tepat serta menguasai berbagai strategi belajar mengajar sehingga mampu dan mau
merancang dan melaksanakan berbagai kegiatan belajar mengajar yang kaya dan
bermakna bagi peserta didik.
Selain itu, pemberian prakarsa dan tanggung jawab sedini mungkin kepada anak dalam kegiatan belajar mengajar akan memupuk kebiasaan dan kemampuan belajar mandiri yang terus menerus. Dengan demikian diharapkan peran sekolah dapat mewujudkan suatu masyarakat yang cerdas.
Selain itu, pemberian prakarsa dan tanggung jawab sedini mungkin kepada anak dalam kegiatan belajar mengajar akan memupuk kebiasaan dan kemampuan belajar mandiri yang terus menerus. Dengan demikian diharapkan peran sekolah dapat mewujudkan suatu masyarakat yang cerdas.
2.
Peningkatan dan pemantapan program bimbingan
dan penyuluhan (BP) di sekolah.
Seperti
diketahui, bidang garapan program BP adalah perkembangan pribadi peserta didik,
khususnya aspek sikap dan perilaku atau kawasan afektif. Dalam pedoman
kurikulum disebutkan bahwa, Pelaksanaan kegiatan BP di sekolah menitikberatkan
kepada bimbingan terhadap perkembangan pribadi melalui pendekatan perseorangan
dan kelompok. Siswa yang menghadapi masalah mendapat bantuan khusus agar mampu
mengatasi masalahnya. Semua siswa tetap mendapatkan bimbingan karier. Pendidikan
afektif dapat diawali dengan kajian tentang nilai dan sikap yang seharusnya
dikejar lebih jauh dalam perwujudannya melalui perilaku sehari-hari.
3.
Pengembangan
perpustakaan sekolah
Perpustakaan
sekolah merupakan salah satu pusat sumber belajar, yang mengelola bukan hanya
bahan pustaka tetapi juga berbagai sumber belajar lainnya. Perpustakan
diharapkan peranannya bisa lebih aktif dalam mendukung program pendidikan.
Dengan penyediaan berbagai perangkat lunak yang didukung perangkat keras yang
memadai maka perpustakaan dapat menjadi “mitra kelas” dalam proses belajar
mengajar dan tempat pengkajian berbagai pengembangan system instruksional.
Suatu
perpustakaan sekolah yang memadai akan dapat mendorong siswa atau anak untuk
belajar mandiri.
4.
Peningkatan
Program pengelolaan sekolah
Khususnya
yang terkait dengan peserta didik, pengelola sekolah sebagai pusat pendidikan
dan kebudayaan seharusnya merupakan reflexi dari suatu masyarakat yang beradab
yang dicita-citakan oleh tujuan nasional. Gaya kerja pengelola umumnya, akan
berpengaruh bukan hanya melalui kebijakannya tetapi juga aspek keteladanannya.
Demikianlah beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fungsi sekolah sebagai salah satu pusat pendidikan. Upaya peningkatan kualitas sekolah diatas, secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas peserta didik dalam mengembangkan tugasnya yaitu belajar.
Demikianlah beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fungsi sekolah sebagai salah satu pusat pendidikan. Upaya peningkatan kualitas sekolah diatas, secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas peserta didik dalam mengembangkan tugasnya yaitu belajar.
D.
Problem Stres Sekolah dalam Perkembangan Peserta Didik
Orang tua harus mengetahui apa
gejala-gejala stress pada anak. Ini penting karena stress yang dalam dapat
berakibat sangat luas pada pribadi dan prestasi anak, bahkan berpengaruh pada
perubahan tingkah laku dan fisik anak.
1.
Konsep Stres Sekolah
Konsep
school stress yang belakangan ini mulai diminati oleh sejumlah peneliti
psikologi dan pendidikan untuk memahami kondisi setres yang dialami oleh siswa
di sekolah, sebenarnya bukanlah konsep yang orisinil dan sama sekali baru,
tetapi lebih merupakan pengembangan dari konsep organizational stress atau job
stress, yakni stress yang dialami individu akibat tuntutan organisasi atau
tuntutan pekerjaannya. Kemudian para peneliti berusaha mengembangkan sebuah
konsep yang secara khusus menggambarkan kondisi stres yang dialami oleh siswa
akibat tuntutan sekolahnya, yakni school stress.
Verma, dkk.(2002), mendefinisiksn school stres sebagai school demands
(tuntutan sekolah), yaitu stres siswa (students stress) yang bersumber dari
tuntutan sekolah (school demands). Tuntutan sekolah yang dimaksud oleh
Verma, dkk. Lebih difokuskan pada tugas-tugas sekolah (schoolwork demands)
dan tuntutan dari guru-guru (the demands of tutors).
Sementara itu, Desmita (2005) mendifinisikan stres sekolah sebagai
ketegangan emosional yang muncul dari peristiwa-peristiwa kehidupan di sekolah
dan perasaan terancam keselamatan atau harga diri siswa, sehingga memunculkan
reaksi-reaksi fisik, psikologis, dan tingkah laku yang berdampak pada
penyesuaian psikologis dan prestasi akademis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan stres
sekolah adalah ondisi stres atau perasaan tidak nyaman yang dialami oleh siswa
akibat adanya tuntutan sekolah yang dinilai menekan, sehingga memicu terjadinya
ketegangan fisik, psikologis, dan perubahan tingkah laku, serta dapat memengaruhi
prestasi belajar mereka.
2.
Sumber Stres Sekolah
Stres yang dialami oleh siswa bersumber dari berbagai tuntutan
sekolah. Desmita mengidentifikasi adanya empat tuntutan sekolah yang dapat
menjadi sumber stres bagi siswa, yaitu :
a.
Physical demands (tuntutan
fisik)
Physical
demands adalah stres
siswa yang bersumber dari lingkungan fisik sekolah. Dimensi-dimensi dari
lingkungan fisik sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya stres siswa ini
meliputi : keadan iklim, ruang kelas, temperatur yang tinggi, pencahayaan dan
penerangan, perlengkapan atau sarana/prasarana penunjang pendidikan, schedule
atau daftar pelajaran, kebersihan dan kesehatan sekolah, keamanan dan penjagaan
sekolah, dan sebagainya.
b.
Task demand (tuntutan
tugas)
Sama
halnya dengan guru-guru atau karyawan disekolah, siswa juga pada tuntutan
tugas-tugas yang harus dikerjakan. Tetapi, berbeda dengan guru dan karyawan
sekolah, tugas-tugas dihadapi siswa berkaitan dengan proses dan pencapaian
tujuan pembelajaran. Dengan demikian, task demand atau tuntutan tugas
dalam konsep stres sekolah ini dapat diartikan sebagai tugas-tugas pelajaran
yang harus dikerjakan atau dihadapi oleh peserta didik yang dapat menimbulkan
perasaan tertekan atau stres. Aspek-aspek dari task demand ini meliputi
: tugas-tugas yang dikerjakan di sekolah dan di rumah, mengikuti pelajaran,
memenuhi tuntutan kurikulum, menghadapi ulangan atau ujian, mematuhi disiplin
sekolah, penilaian, dan mengikuti berbgai kegiatan ekstrakurikuler.
Adanya
tuntutan tugas sekolah ini, disatu sisi merupakan aktifitas sekolah yang sangat
bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan siswa. Namun disisi lain, tidak
jarang tuntutan tugas tersebut menimbulkan perasaan tertekan dan kecemasan.
Adanya fenomena stres yang dirasakan oleh siswa remaja akibat tuntutan tugas
ini telah ditunjukkan oleh sejumlah temuan penelitian dibeberapa negara.
Seperti studi di India menunjukkan bahwa tuntutan sekolah berhubungan dengan
kecemasan, penyimpangan psikososial, dan kesulitan penyesuaian diri dengan
situasi sekolah. Tugas-tugas sekolah rata-rata menimbulkan penurunan kondisi
emosi dan motivasi dikalangan remaja India. Mereka melaporkan bahwa ketika
mengerjakan tugas-tugas akademik tersebut keadaan emosinya kurang positif.
Mereka merasa tidak sanggup, kurang rileks, kurang senag, iritabilitas dan
stres, dibandingkan ketika mereka melakukan aktifitas lain.
c.
Role demands (tuntutan
peran)
Dimensi
ketiga dari stressor di sekolah adalah berhubungan dengan peran yang dipikul
oleh siswa. Seperti telah disebutkan diatas, sekolah adalah sebuah organisasi
yang dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan organisassi-organisasi lainnya.
Semua anggota organisasi diharapkan memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah
ditetapkan sesuai dengan posisinya masing-masing. Sekumpulan kewajiban yang
diharapkan dipenuhi oleh masing-masing individu sesuai dengan posisinya inilah
yang disebut dengan peran (role). Apabila seseorang menduduki suatu
posisi, maka hal ini secara otomatis menjadi suatu peran.
Disini
terlihat adanya perbedaan antara task demand dengan role demands sebagai
sumber stress siswa di sekolah. Task demands lebih berkaitan dengan
aktivitas spesifik atau tugas-tugas yang secara
khusus dari kegiatan belajar yang harus diselesaikan oleh siswa,
sedangkan role demands berhubungan dengan tingkah laku lain yang
diharapkan dari siswa sebagai pemenuhan fungsi di sekolah.
d.
Interpersonal demands (tuntutan
interpersonal)
Dilingkungan
sekolah siswa tidak hanya dituntut untuk dapat mencapai prestasi akademis yang
tinggi, melainkan juga harus mampu melakukan interaksi sosial atau menjalin
hubungan baik dengan orang lain. Keberhasilan siswa menjalin hubungan dengan
orang lain di sekolah banyak ditentukan oleh kompetensi interpersonal yang
dimilikinya, seperti kemampuan berinisiatif membina hubungan interpersonal,
kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan memberikan
dukunga emosional serta kemampuan mengelola dan mengatasi konflik-konflik yang
timbul dalam hubungan interpersonal. Namun, disisi lain hal ini dapat
menimbulkan ketegangan dalam diri siswa, seperti ketidakmampuan menjalin
hubungan interpersonal yang positif dengan guru dan teman sebaya, menghadapi
persaingan dengan teman, kurangnya perhatian dan dukungan dari guru, perlakuan
guru yang tidak adil, dijauhi dan dikucilkan teman, dan sebagainya.
Rice
secara garis besarnya membedakan 2 tipologi sumber stres sekolah, yaitu:
1)
Personal and Social stressor
Adalah stress
siswa yang bersumber dari diri pribadi dan lingkungan sosial. Menurut Rice,Personal
and Social stressor yang penting meliputi isu-isu: transisi, lingkungan
tempat tinggal, saudara dan teman lama.
Dalam studi
tentang siswa wanita yang dilakukan oleh Frazier dan Showen Schauben,
diidentifikasi beberapa streesor yang berhubungan dengan isu-isu hubungan,
yaitu ditolak, disisihkan, dicurangi teman dekat, tidak diikutsertakan,
kehamilan yang tidak dihendaki, tekanan ujian, dan masalah keuangan. Dari
sekian banyak stressor yang tercangkup dalam dimensi hubungan ini, stressor
yang paling kuat adalah kematian orang tua atau teman dekat dan kehamilan yang
tidak dikehendaki.
2)
Academic Stressor
Adalah stress
siswa yang bersumber dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan
dengan kegiatan belajar, yang meliputi: tekanan untuk naik kelas, lama belajar,
menyontek, banyak tugas, mendapat nilai ulangan, birokrasi, mendapatkan bantuan
beasiswa, keputusan menetukan jurusan dan karir, serta kecemasan ujian dan
managemen waktu.
3.
Gejala-gejala Stress
Gejala-gejala stress pada anak adalah sebagai berikut:
a)
Anak menampilkan tanda-tanda depresi
b)
Mudah marah dan kehilangan minat pada aktivitas pavoritnya
c)
Lelah, gelisah dan agitasi
d)
Mengeluh sakit fisik seperti sakit perut (mencret) ataupun sakit
kepala
e)
Minat belajar menurut dan prestasi yang anjlok
f)
Kemungkinan anak akan berubah tingkah laku dari seorang yang ramah
menjadi pendiam, ataupun sebeliknya dari seorang yang penurut menjadi seorang
yang sering membantah
g)
Anak berubah menjadi seorang pembohong bahkan mencuri atau
melakukan perbuatan jahat lainnya sebagai bentuk pelarian.
h)
Anak kurang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas rumah
i)
Anak menjadi lebih tergantung dengan orang tua atau mengacuhkan
orang tua
j)
Kurang percaya diri dan bersikap malas
Gejala-gejala stress pada anak harus cepat ditanggulangi sebelum
gejala-gejala tersebut mengalami generalisasi terhadap tingkah laku negatif
lainnya. Anak yang stress berat bahkan bisa bersikap destruktif (merusak)
bahkan bunuh diri jika tidak cepat ditanggulangi.
Penyebab stress pada anak bermacam-macam sumbernya. Bahkan segala
sesuatu yang ada di lingkungan anak, respon, tuntutan dan aktivitasnya
keseharian berpotensi menjadi sumber stress baginya. Sehingga penting bagi
orang tua untuk mengenali faktor-faktor penyebab stress pada anak, sehingga
mereka mampu mengambil tindakan pertolongan bagi anak-anak mereka agar coping
(pertahanan) dengan stress yang dihadapi serta mampu mencegah atau menghindari
terjadinya stress pada anak.
4.
Dampak Stress Sekolah
Dari
uraian diatas dipahami bahwa kondisi stress yang dipahami siswa akibat berbagai
tumtutan sekolah, tidak sepenuhnya membawa dampak yang negatif, melainkan juga
dapat berdampak positif. Dampak negatif atau positif dari fenomena stress
sekolah ini, tergantung pada derajat stress yang mereka alami. Apabila stress
sekolah yang dialami remaja berada pada taraf yang tinggi atau sangat serius,
maka kemungkinan akan mebawa dampak negatif bagi perkembangannya. Sebaliknya,
apabila sress sekolah yang dialami siswa berada pada taraf yang moderat, maka
dapat berdampak positif. Moderat atau rendahnya derajat stress yang dialami
oleh remaja akibat berbagai tuntutan sekolah sangat bergantung pada penilaian
kognitif mereka, yaitu proses mental yang berlangsung terus-menerus untuk
menginterpetasikan berbagai situasi dalam interaksinya dengan individu. Siswa
yang menilai tuntutan sekolah sebagai hal yang sangat menekan, akan menunjukan
adanya derajat stress yang cenderung tinggi. Siswa yang menilai tuntutan
sekolah itu sebagai kondisi yang tidak membahayakan, akan menunjukan derajat stress
yang rendah. Tetapi, apabila siswa
menilai tuntutan sekolah sebagai tantangan untuk lebih meningkatkan kualitas
dirinya, akan menunjukkan derajat stress yang moderat. Agar siswa dapat
menyikapi stress sekolah secara positif.
5.
Upaya Mengatasi Problem Stress Sekolah yang di Alami Peserta Didik
Dalam
upaya menanggulangi atau menangani kondisi stress peserta didik,sekolah sebagai
institusi pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Berikut ini akan
dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan guru dalam mengatasi stress
yang di alami peserta didik:
a)
Menciptakan iklim sekolah yang kondusif
b)
Melaksanakan program pelatihan penanggulangan stress
c)
Mengembangkan resiliensi peserta didik
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
1.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi timbal balik kegiatan peserta didik dengan belajar adalah:
a.
Perkembangan
Fisik
b.
Pengaruh
Psikis
1)
Perhatian
2)
Minat
3)
Bakat
4)
Motivasi
c. Lingkungan Sosial dan
Nonsosial
2.
Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan mendidik anak di rumah,
antara lain:
a.
Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak.
b.
Menjamin kehidupan emosional anak.
c.
Menanamkan dasar pendidikan moral anak.
d.
Memberikan dasar pendidikan sosial.
e.
Meletakan dasar-dasar pendidikan agama.
f.
Bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan anak.
g.
Memberikan kesempatan belajar dengan mengenalkan berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi
kehidupan kelak sehingga ia mampu menjadi manusia dewasa yang mandiri.
3.
Suatu alternatif yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan sekolah
dalam perannya sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi
sekolah, antara lain:
a.
Pengajaran yang mendidik
b.
Peningkatan dan pemantapan
program bimbingan dan penyuluhan (BP) di sekolah.
c.
Pengembangan perpustakaan sekolah
d.
Peningkatan Program pengelolaan sekolah
4.
Sumber Stres Sekolah
a.
Physical demands (tuntutan fisik)
b.
Task demand (tuntutan tugas)
c.
Role demands (tuntutan peran)
d.
Interpersonal demands (tuntutan interpersonal)
Rice secara garis besarnya membedakan 2 tipologi sumber stres
sekolah, yaitu:
a.
Personal and Social stressor
b.
Academic Stressor
Gejala-gejala
stress pada anak adalah sebagai berikut:
a.
Anak menampilkan tanda-tanda depresi
b.
Mudah marah dan kehilangan minat pada aktivitas pavoritnya
c.
Lelah, gelisah dan agitasi
d.
Mengeluh sakit fisik seperti sakit perut (mencret) ataupun sakit
kepala
e.
Minat belajar menurut dan prestasi yang anjlok
f.
Kemungkinan anak akan berubah tingkah laku dari seorang yang ramah
menjadi pendiam, ataupun sebeliknya dari seorang yang penurut menjadi seorang
yang sering membantah
g.
Anak berubah menjadi seorang pembohong bahkan mencuri atau
melakukan perbuatan jahat lainnya sebagai bentuk pelarian.
h.
Anak kurang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas rumah
i.
Anak menjadi lebih tergantung dengan orang tua atau mengacuhkan
orang tua
j.
Kurang percaya diri dan bersikap malas
Apabila stress
sekolah yang dialami remaja berada pada taraf yang tinggi atau sangat serius,
maka kemungkinan akan mebawa dampak negatif bagi perkembangannya. Sebaliknya,
apabila sress sekolah yang dialami siswa berada pada taraf yang moderat, maka
dapat berdampak positif.
Upaya yang
dapat dilakukan guru dalam mengatasi stress yang di alami peserta didik:
a.
Menciptakan iklim sekolah yang kondusif
b.
Melaksanakan program pelatihan penanggulangan stress
c.
Mengembangkan resiliensi peserta didik
DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. PT. Remaja
Rosda karya.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
PT. Remaja Rosdakarya.
Langganan:
Postingan (Atom)