Jumat, 27 Februari 2015

lingkungan perkembangan peserta didik


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pada umumnya yang orang tua berikan adalah yang terbaik bagi anaknya selaku peserta didik. Pendidikan dalam keluarga adalah tanggung jawab orang tua, dengan peran Ibu lebih banyak. Karena Ayah biasanya pergi bekerja dan kurang ada di rumah, maka hubungan Ibu dan anak lebih menonjol. Meskipun peran Ayah juga amat penting, terutama sebagai tauladan dan pemberi pedoman. Kalau anak sudah mendekat dewasa peran Ayah sebagai penasehat juga penting, karena dapat memberikan aspek berbeda dari yang diberikan Ibu. Oleh karena hubungan Ayah dan anak terbatas waktunya, terutama di hari kerja, maka Ayah harus mengusahakan agar pada hari libur memberikan waktu lebih banyak untuk bersama dengan anak. Padahal belum tentu semua yang diberikan sesuai yang diharapkan. Perkembangan peserta didik  dapat dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Lingkungan yang di maksud  adalah lingkungan yang sangat berpengaruh besar pada jiwa peserta didik, seperti keluarga dan sekolah, terutama yang dapat memengaruhi peserta didik bagaimana perkembangannya terhadap merespon dalam belajar.
Lingkungan yang buruk akan berpengaruh psikis anak, sehingga peserta didik akan mengalami gejala stress. Gejala-gejala stress pada anak memang sangat susah dikenali dibandingkan dengan gejala-gejala stress pada orang dewasa. Ini di karenakan anak terkendala dari cara mengkomunikasikan apa yang sedang dialaminya, perasaan takut apa yang sedang dihadapi, cederung tertutup dan lain-lain.
Pendidik  harus mengetahui apa gejala-gejala stress pada anak. Hal ini penting, karena stress yang dalam, dapat berakibat sangat luas pada pribadi dan prestasi anak, bahkan berpengaruh pada perubahan tingkah laku dan fisik anak. Dengan  begitu penulis menyusun makalah dengan judul “Lingkungan Perkembangan Peserta Didik”.








B.     Rumusan Masalah
1. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi timbal balik kegiatan peserta didik dengan belajar?
2. Bagaimana fungsi keluarga terhadap perkembangan kepribadian anak  ?
3.Bagaimana peranan sekolah dalam mengembangkan tugas perkembangan  peserta didik?
4. Bagaimana problem stress sekolah dalam perkembangan peserta didik?

C. Tujuan
1.  Mengetahui hubungan timbal balik antara perkembangan peserta didik dengan belajar
2.  Mengetahui hubungan pendidikan keluarga dengan perkembangan peserta didik
3.  Mengetahui peranan sekolah dalam mengembangkan tugas perkembangan  peserta didik
4.  Mengetahui  problem stress sekolah dalam perkembangan peserta didik
























BAB II
PEMBAHASAN
                       
A.    Hubungan Timbal Balik antara Perkembangan Peserta Didik dengan Belajar
Hubungan timbal balik manusia secara fisik merupakan perubahan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki sifat saling membutuhkan. Contohnya, para siswa tidak bisa bersekolah jika tidak ada orang yang membangun sekolah. Begitu pun dengan Peserta didik, karena peserta didik merupakan manusia yang mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalan pendidikan, baik formal maupun nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan sarana untuk mengembangkan potensi tersebut yaitu dengan cara belajar. Untuk bisa belajar efektif setiap orang perlu mengetahui apa arti belajar sesungguhnya.
                        Belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Tetapi, tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan seperti gila, mabuk, lelah dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar. Hubungan timbal balik peserta didik dengan belajar sangat berhubungan, karena satu sama lain akan saling mempengaruhi.Peserta didik dapat belajar dengan baik jika sarana dan prasarana mendukung.Begitupun sebaliknya,kegiatan belajar akan efektif jika kondisi peserta didik siap untuk belajar,sehingga timbal balik kegiatan belajar dengan peserta didik akan mencapai tujuan pendidikan.
                                    Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi timbal balik kegiatan peserta didik dengan belajar adalah sebagai berikut:
1.      Perkembangan Fisik
     Perkembagan fisik pada anak memiliki karakteristik yang berbeda baik sebelum maupun sesudah anak-anak. Perkembangan fisik pada anak perlu dipelajari dan dipahami oleh setiap guru,karena dipercaya bahwa segala aktivitas-aktivitas belajar dan aktivitas-aktivitas yang menyangkut mentalnya serta pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh kondisi dan pertumbuhan fisik. Contohnya adalah kesehatan. Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya dan bebas dari penyakit.Kesehatan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya.Proses belajar  seseorang akan terganggu, selain itu juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat,mudah pusing,ngantuk jika badannya lemah , kurang darah ataupun ada gangguan atau kelainan alat indera serta tubuhnya.Agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan, ketentuan tentang bekerja, belajar, istirahat, tidur, makan, olahraga, rekreasi dan ibadah.
2.      Pengaruh Psikis
     Proses psikosional melibatkan perubahan dalam aspek perasaan, emosi dan kepribadian individu, perkembangan identitas diri, pola hubungan dengan anggota keluarga, teman, guru dan yang lainnya. Contoh pengaruh psikis antara lain :
a.       Perhatian
 Perhatian menurut Gazali adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada suatu objek ( benda/hal) atau sekumpulan objek.Untuk dapat menjamin hasil yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbulah kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, usahakanlah bahan pelajaran itu sesuai dengan hobi atau bakatnya.

b.      Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus-menerus yang disertai dengan rasa senang. Jadi berbeda dengan perhatian, karena perhatian sifatnya sementara (tidak dalam waktu yang lama) dan belum tentu diikuti dengan perasaan senang, sedangkan minat selalu dikuti dengan perasaan senang dan dari situ diperoleh kepuasan. Jika terdapat siswa yang kurang berminat terhadap belajar, dapat diusahakan agar ia mempunyai minat yang labih besar       dengan cara menjelaskan hal-hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan serta hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita serta hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya dengan bahan pelajaran yang dipelajari itu.

c.    Bakat
Bakat atau aptitude menurut Hilgard adalah: ”the city to learn”. Dengan perkata lain bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Orang yang berbakat mengetik, misalnya akan lebih cepat dapat mengetik dengan lancar dibandingkan dengan orang lain yang kurang/tidak berbakat dibidangnya. Dari uraian di atas dijelaskan bahwa bakat itu mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran yang dipelajari sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia senang belajar pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya.
d.   Motivasi
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu supaya bertingkah laku secara terarah.
Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
 1). Motivasi intrinsik: 2).motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari diri peserta didik sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar.Termasuk dalam motivasi intrinsik peserta didik adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan peserta didik  yang bersangkutan.
Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu peserta didik yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah,suri tauladan orang tua, guru, dan seterusnya merupakan contoh-contoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat mendorong peserta didik untuk belajar. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya peserta didik dalam melakukan proses belajar materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah. Dalam prespektif kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi peserta didik adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.

3.      Lingkungan Sosial dan Nonsosial
     Lingkungan sosial sekolah seperti keluarga, guru, kepala sekolah, dan teman-teman sekolah, masyarakat sekitar (tetangga) dapat mempengaruhi semangat belajar peserta didik. Prilaku lingkungan sosial ini, jika memperlihatkan prilaku yang simpatik dan memberi suri tauladan yang baik khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca, dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar peserta didik. Lingkungan yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik adalah keluarga peserta didik  itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, pengelolaan keluarga, dan demografi keluarga bisa memberi dampak baik atau buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang di capai oleh peserta didik.
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah, rumah dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan pesta didik. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan siswa. Dengan demikian, waktu yang digunakan peserta didik untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar peserta didik, tak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang penting dalam belajar melaikan sistem memori peserta didik  dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang dipelajari pesta didik tersebut.
Perubahan peserta didik setelah melalui proses belajar akan bersifat positif. Perubahan positif ini sangat baik dan bermanfaat, atau sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini juga bermakna bahwa perubahan, yakni yang diperolehnya sesuatu yang baru seperti pemahaman dan keterampilan baru yang lebih baik daripada apa yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh, jika seorang siswa belajar menulis, maka di samping akan mampu merangkaikan kata dan kalimat dalam bentuk tulisan, ia juga akan memperoleh kecakapan lainnya seperti membuat catatan, mengarang surat, dan bahkan menyusun karya sastra atau karya ilmiah.

B.     Hubungan Pendidikan Keluarga dengan Perkembangan Peserta Didik
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memiliki peranan terpenting dan menjadi dasar bagi perkembangan psikososial anak dalam konteks sosial yang lebih luas.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan.Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak  dan  mendidik anak dirumah. Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan mendidik anak di rumah, antara lain:
1.   Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak.
2.   Menjamin kehidupan emosional anak.
3.   Menanamkan dasar pendidikan moral anak.
4.   Memberikan dasar pendidikan sosial.
5.   Meletakan dasar-dasar pendidikan agama.
6.   Bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan anak.
7.   Memberikan kesempatan belajar dengan mengenalkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi   kehidupan kelak sehingga ia mampu menjadi manusia dewasa yang mandiri.
                        Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut secara maksimal, sehingga orang tua harus memiliki kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang sesuai dengan harapan. Artinya orang tua harus memahami hakikat dan peran mereka sebagai orang tua dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang pola pengasuhan yang tepat, pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan ilmu tentang perkembangan anak, sehingga tidak salah dalam menerapkan suatu bentuk pola pendidikan terutama dalam pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan  tujuan pendidikan itu sendiri untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
                                    Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik anak. Cara orang tua mendidik anak inilah yang disebut sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang paling baik menurut mereka dalam mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik maka hendaklah orang tua mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak.

1. POLA ASUH OTORITATIVE (OTORITER)
a.       Cenderung tidak memikirkan apa yang terjadi  di kemudian hari fokus lebih pada masa kini.
b.      Untuk kemudahan orang tua dalam  pengasuhan.
c.       Menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak oleh orang tua.

Efek pola asuh otoriter terhadap perilaku belajar anak :
a.       Anak menjadi tidak percaya diri, kurang spontan  ragu-ragu dan pasif, serta memiliki masalah konsentrasi dalam   belajar.
b.      Ia menjalankan tugas-tugasnya lebih disebabkan oleh takut hukuman.
c.       Di sekolah memiliki kecenderungan berperilaku antisosial, agresif, impulsive dan perilaku mal adatif lainnya.
d.      Anak perempuan cenderung menjadi dependen.

2. POLA ASUH PERMISIVE (PEMANJAAN)
Segala sesuatu terpusat pada kepentingan anak, dan orang tua/pengasuh tidak berani menegur, takut anak menangis   dan khawatir anak kecewa.

Efek pola asuh permisif terhadap perilaku belajar anak  :
a.       Anak memang menjadi tampak responsif dalam belajar, namun tampak kurang matang (manja), impulsive dan   mementingkan diri sendiri, kurang percaya diri (cengeng) dan mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau   kesulitan dalam tugas-tugasnya.
b.      Tidak jarang perilakunya disekolah menjadi agresif.

3. POLA ASUH INDULGENT (PENELANTARAN)
a.       Menelantarkan secara psikis.
b.      Kurang memperhatikan perkembangan psikis anak.
c.       Anak dibiarkan berkembang sendiri.
d.      Orang tua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri karena kesibukan.

Efek pola asuh indulgent terhadap perilaku belajar anak :
a.    Anak dengan pola asuh ini paling potensial telibat dalam kenakalan remaja seperti penggunaan narkoba,  merokok   diusia dini dan tindak kriminal lainnya.
b.    Impulsive dan agresif serta kurang mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas atau kegiatan.
c.    Anak memiliki daya tahan terhadap frustrasi rendah.

4. POLA ASUH AUTORITATIF (DEMOKRATIS)
a.         Menerima anak sepenuh hati, memiliki wawasan kehidupan masa depan yang dipengaruhi oleh tindakan-tidakan masa   kini.
b.        Memprioritaskan kepentingan anak, tapi tidak ragu-ragu mengendalikan anak.
c.         Membimbing anak kearah kemandirian, menghargai anak yang memiliki emosi dan pikirannya sendiri.

Efek pola asuh autoritatif terhadap perilaku belajar anak:
a.    Anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan introspeksi serta pengendalian diri.
b.    Mudah bekerjasama dengan orang lain dan kooperatif terhadapo aturan.
c.    Lebih percaya diri akan kemampannya menyelesaikan tugas-tugas.
d.    Mantap, merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tugas belajar.
e.    Memiliki keterampilan sosial yang baik dan trampil menyelesaikan permasalahan.
f.     Tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.
                        Menyepakati pola asuh yang paling efektif dalam keluarga adalah penting, karena pola asuh pada tahun-tahun awal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadiannya dimasa datang. Perilaku dewasa dan ciri kepribadian  dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang terjadi  selama tahun-tahun awal kehidupan, artinya antara masa anak dan dewasa memiliki hubungan berkesinambungan.

C.     Peranan Sekolah dalam Mengembangkan Tugas Perkembangan  Peserta Didik
Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Karena kamajuan zaman, maka keluarga tidak mungkin lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi anak terhadap iptek. Semakin maju suatu masyarakat, semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat itu.
Suatu alternatif yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan sekolah dalam perannya sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah, antara lain:
1.       Pengajaran yang mendidik
Yaitu pengajaran yang serentak memberi peluang pencapaian tujuan intruksional bidang studi dan tujuan-tujuan umum pendidikan lainnya. Dalam upaya mewujudkan pengajaran yang mendidik, perlu dikemukakan bahwa setiap keputusan dan tindakan guru dalam rangka kegiatan belajar mengajar akan membawa berbagai dampak atau efek kepada siswa.
Pemilihan kegiatan belajar yang tepat, akan memberikan pengalaman belajar siswa yang efisien dan efekti untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhya. Hal ini dapat dilaksanakan dengan konsisten apabila guru memiliki wawasan kependidikan yang tepat serta menguasai berbagai strategi belajar mengajar sehingga mampu dan mau merancang dan melaksanakan berbagai kegiatan belajar mengajar yang kaya dan bermakna bagi peserta didik.
Selain itu, pemberian prakarsa dan tanggung jawab sedini mungkin kepada anak dalam kegiatan belajar mengajar akan memupuk kebiasaan dan kemampuan belajar mandiri yang terus menerus. Dengan demikian diharapkan peran sekolah dapat mewujudkan suatu masyarakat yang cerdas.

2.       Peningkatan dan pemantapan program bimbingan dan penyuluhan (BP) di sekolah.
Seperti diketahui, bidang garapan program BP adalah perkembangan pribadi peserta didik, khususnya aspek sikap dan perilaku atau kawasan afektif. Dalam pedoman kurikulum disebutkan bahwa, Pelaksanaan kegiatan BP di sekolah menitikberatkan kepada bimbingan terhadap perkembangan pribadi melalui pendekatan perseorangan dan kelompok. Siswa yang menghadapi masalah mendapat bantuan khusus agar mampu mengatasi masalahnya. Semua siswa tetap mendapatkan bimbingan karier. Pendidikan afektif dapat diawali dengan kajian tentang nilai dan sikap yang seharusnya dikejar lebih jauh dalam perwujudannya melalui perilaku sehari-hari.

3.      Pengembangan perpustakaan sekolah
Perpustakaan sekolah merupakan salah satu pusat sumber belajar, yang mengelola bukan hanya bahan pustaka tetapi juga berbagai sumber belajar lainnya. Perpustakan diharapkan peranannya bisa lebih aktif dalam mendukung program pendidikan. Dengan penyediaan berbagai perangkat lunak yang didukung perangkat keras yang memadai maka perpustakaan dapat menjadi “mitra kelas” dalam proses belajar mengajar dan tempat pengkajian berbagai pengembangan system instruksional.
Suatu perpustakaan sekolah yang memadai akan dapat mendorong siswa atau anak untuk belajar mandiri.

4.      Peningkatan Program pengelolaan sekolah
Khususnya yang terkait dengan peserta didik, pengelola sekolah sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan seharusnya merupakan reflexi dari suatu masyarakat yang beradab yang dicita-citakan oleh tujuan nasional. Gaya kerja pengelola umumnya, akan berpengaruh bukan hanya melalui kebijakannya tetapi juga aspek keteladanannya.
Demikianlah beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fungsi sekolah sebagai salah satu pusat pendidikan. Upaya peningkatan kualitas sekolah diatas, secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas peserta didik dalam mengembangkan tugasnya yaitu belajar.

D.    Problem Stres Sekolah dalam Perkembangan Peserta Didik
                        Orang tua harus mengetahui apa gejala-gejala stress pada anak. Ini penting karena stress yang dalam dapat berakibat sangat luas pada pribadi dan prestasi anak, bahkan berpengaruh pada perubahan tingkah laku dan fisik anak.
1.      Konsep Stres Sekolah
                        Konsep school stress yang belakangan ini mulai diminati oleh sejumlah peneliti psikologi dan pendidikan untuk memahami kondisi setres yang dialami oleh siswa di sekolah, sebenarnya bukanlah konsep yang orisinil dan sama sekali baru, tetapi lebih merupakan pengembangan dari konsep organizational stress atau job stress, yakni stress yang dialami individu akibat tuntutan organisasi atau tuntutan pekerjaannya. Kemudian para peneliti berusaha mengembangkan sebuah konsep yang secara khusus menggambarkan kondisi stres yang dialami oleh siswa akibat tuntutan sekolahnya, yakni school stress.
Verma, dkk.(2002), mendefinisiksn school stres sebagai school demands (tuntutan sekolah), yaitu stres siswa (students stress) yang bersumber dari tuntutan sekolah (school demands). Tuntutan sekolah yang dimaksud oleh Verma, dkk. Lebih difokuskan pada tugas-tugas sekolah (schoolwork demands) dan tuntutan dari guru-guru (the demands of tutors).
Sementara itu, Desmita (2005) mendifinisikan stres sekolah sebagai ketegangan emosional yang muncul dari peristiwa-peristiwa kehidupan di sekolah dan perasaan terancam keselamatan atau harga diri siswa, sehingga memunculkan reaksi-reaksi fisik, psikologis, dan tingkah laku yang berdampak pada penyesuaian psikologis dan prestasi akademis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan stres sekolah adalah ondisi stres atau perasaan tidak nyaman yang dialami oleh siswa akibat adanya tuntutan sekolah yang dinilai menekan, sehingga memicu terjadinya ketegangan fisik, psikologis, dan perubahan tingkah laku, serta dapat memengaruhi prestasi belajar mereka.



2.      Sumber Stres Sekolah
Stres yang dialami oleh siswa bersumber dari berbagai tuntutan sekolah. Desmita mengidentifikasi adanya empat tuntutan sekolah yang dapat menjadi sumber stres bagi siswa, yaitu :
a.       Physical demands (tuntutan fisik)
Physical demands adalah stres siswa yang bersumber dari lingkungan fisik sekolah. Dimensi-dimensi dari lingkungan fisik sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya stres siswa ini meliputi : keadan iklim, ruang kelas, temperatur yang tinggi, pencahayaan dan penerangan, perlengkapan atau sarana/prasarana penunjang pendidikan, schedule atau daftar pelajaran, kebersihan dan kesehatan sekolah, keamanan dan penjagaan sekolah, dan sebagainya.
b.      Task demand (tuntutan tugas)
Sama halnya dengan guru-guru atau karyawan disekolah, siswa juga pada tuntutan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Tetapi, berbeda dengan guru dan karyawan sekolah, tugas-tugas dihadapi siswa berkaitan dengan proses dan pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan demikian, task demand atau tuntutan tugas dalam konsep stres sekolah ini dapat diartikan sebagai tugas-tugas pelajaran yang harus dikerjakan atau dihadapi oleh peserta didik yang dapat menimbulkan perasaan tertekan atau stres. Aspek-aspek dari task demand ini meliputi : tugas-tugas yang dikerjakan di sekolah dan di rumah, mengikuti pelajaran, memenuhi tuntutan kurikulum, menghadapi ulangan atau ujian, mematuhi disiplin sekolah, penilaian, dan mengikuti berbgai kegiatan ekstrakurikuler.
Adanya tuntutan tugas sekolah ini, disatu sisi merupakan aktifitas sekolah yang sangat bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan siswa. Namun disisi lain, tidak jarang tuntutan tugas tersebut menimbulkan perasaan tertekan dan kecemasan. Adanya fenomena stres yang dirasakan oleh siswa remaja akibat tuntutan tugas ini telah ditunjukkan oleh sejumlah temuan penelitian dibeberapa negara. Seperti studi di India menunjukkan bahwa tuntutan sekolah berhubungan dengan kecemasan, penyimpangan psikososial, dan kesulitan penyesuaian diri dengan situasi sekolah. Tugas-tugas sekolah rata-rata menimbulkan penurunan kondisi emosi dan motivasi dikalangan remaja India. Mereka melaporkan bahwa ketika mengerjakan tugas-tugas akademik tersebut keadaan emosinya kurang positif. Mereka merasa tidak sanggup, kurang rileks, kurang senag, iritabilitas dan stres, dibandingkan ketika mereka melakukan aktifitas lain.

c.       Role demands (tuntutan peran)
Dimensi ketiga dari stressor di sekolah adalah berhubungan dengan peran yang dipikul oleh siswa. Seperti telah disebutkan diatas, sekolah adalah sebuah organisasi yang dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan organisassi-organisasi lainnya. Semua anggota organisasi diharapkan memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan sesuai dengan posisinya masing-masing. Sekumpulan kewajiban yang diharapkan dipenuhi oleh masing-masing individu sesuai dengan posisinya inilah yang disebut dengan peran (role). Apabila seseorang menduduki suatu posisi, maka hal ini secara otomatis menjadi suatu peran.
Disini terlihat adanya perbedaan antara task demand dengan role demands sebagai sumber stress siswa di sekolah. Task demands lebih berkaitan dengan aktivitas spesifik atau tugas-tugas yang secara  khusus dari kegiatan belajar yang harus diselesaikan oleh siswa, sedangkan role demands berhubungan dengan tingkah laku lain yang diharapkan dari siswa sebagai pemenuhan fungsi di sekolah.
d.      Interpersonal demands (tuntutan interpersonal)
Dilingkungan sekolah siswa tidak hanya dituntut untuk dapat mencapai prestasi akademis yang tinggi, melainkan juga harus mampu melakukan interaksi sosial atau menjalin hubungan baik dengan orang lain. Keberhasilan siswa menjalin hubungan dengan orang lain di sekolah banyak ditentukan oleh kompetensi interpersonal yang dimilikinya, seperti kemampuan berinisiatif membina hubungan interpersonal, kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan memberikan dukunga emosional serta kemampuan mengelola dan mengatasi konflik-konflik yang timbul dalam hubungan interpersonal. Namun, disisi lain hal ini dapat menimbulkan ketegangan dalam diri siswa, seperti ketidakmampuan menjalin hubungan interpersonal yang positif dengan guru dan teman sebaya, menghadapi persaingan dengan teman, kurangnya perhatian dan dukungan dari guru, perlakuan guru yang tidak adil, dijauhi dan dikucilkan teman, dan sebagainya.
Rice secara garis besarnya membedakan 2 tipologi sumber stres sekolah, yaitu:
1)      Personal and Social stressor
Adalah stress siswa yang bersumber dari diri pribadi dan lingkungan sosial. Menurut Rice,Personal and Social stressor yang penting meliputi isu-isu: transisi, lingkungan tempat tinggal, saudara dan teman lama.
Dalam studi tentang siswa wanita yang dilakukan oleh Frazier dan Showen Schauben, diidentifikasi beberapa streesor yang berhubungan dengan isu-isu hubungan, yaitu ditolak, disisihkan, dicurangi teman dekat, tidak diikutsertakan, kehamilan yang tidak dihendaki, tekanan ujian, dan masalah keuangan. Dari sekian banyak stressor yang tercangkup dalam dimensi hubungan ini, stressor yang paling kuat adalah kematian orang tua atau teman dekat dan kehamilan yang tidak dikehendaki.
2)      Academic Stressor
Adalah stress siswa yang bersumber dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar, yang meliputi: tekanan untuk naik kelas, lama belajar, menyontek, banyak tugas, mendapat nilai ulangan, birokrasi, mendapatkan bantuan beasiswa, keputusan menetukan jurusan dan karir, serta kecemasan ujian dan managemen waktu.

3.      Gejala-gejala Stress
Gejala-gejala stress pada anak adalah sebagai berikut:
a)      Anak menampilkan tanda-tanda depresi
b)      Mudah marah dan kehilangan minat pada aktivitas pavoritnya
c)      Lelah, gelisah dan agitasi
d)     Mengeluh sakit fisik seperti sakit perut (mencret) ataupun sakit kepala
e)      Minat belajar menurut dan prestasi yang anjlok
f)       Kemungkinan anak akan berubah tingkah laku dari seorang yang ramah menjadi pendiam, ataupun sebeliknya dari seorang yang penurut menjadi seorang yang sering membantah
g)      Anak berubah menjadi seorang pembohong bahkan mencuri atau melakukan perbuatan jahat lainnya sebagai bentuk pelarian.
h)      Anak kurang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas rumah
i)        Anak menjadi lebih tergantung dengan orang tua atau mengacuhkan orang tua
j)        Kurang percaya diri dan bersikap malas

Gejala-gejala stress pada anak harus cepat ditanggulangi sebelum gejala-gejala tersebut mengalami generalisasi terhadap tingkah laku negatif lainnya. Anak yang stress berat bahkan bisa bersikap destruktif (merusak) bahkan bunuh diri jika tidak cepat ditanggulangi.
Penyebab stress pada anak bermacam-macam sumbernya. Bahkan segala sesuatu yang ada di lingkungan anak, respon, tuntutan dan aktivitasnya keseharian berpotensi menjadi sumber stress baginya. Sehingga penting bagi orang tua untuk mengenali faktor-faktor penyebab stress pada anak, sehingga mereka mampu mengambil tindakan pertolongan bagi anak-anak mereka agar coping (pertahanan) dengan stress yang dihadapi serta mampu mencegah atau menghindari terjadinya stress pada anak.

4.      Dampak Stress Sekolah
Dari uraian diatas dipahami bahwa kondisi stress yang dipahami siswa akibat berbagai tumtutan sekolah, tidak sepenuhnya membawa dampak yang negatif, melainkan juga dapat berdampak positif. Dampak negatif atau positif dari fenomena stress sekolah ini, tergantung pada derajat stress yang mereka alami. Apabila stress sekolah yang dialami remaja berada pada taraf yang tinggi atau sangat serius, maka kemungkinan akan mebawa dampak negatif bagi perkembangannya. Sebaliknya, apabila sress sekolah yang dialami siswa berada pada taraf yang moderat, maka dapat berdampak positif. Moderat atau rendahnya derajat stress yang dialami oleh remaja akibat berbagai tuntutan sekolah sangat bergantung pada penilaian kognitif mereka, yaitu proses mental yang berlangsung terus-menerus untuk menginterpetasikan berbagai situasi dalam interaksinya dengan individu. Siswa yang menilai tuntutan sekolah sebagai hal yang sangat menekan, akan menunjukan adanya derajat stress yang cenderung tinggi. Siswa yang menilai tuntutan sekolah itu sebagai kondisi yang tidak membahayakan, akan menunjukan derajat stress yang rendah.  Tetapi, apabila siswa menilai tuntutan sekolah sebagai tantangan untuk lebih meningkatkan kualitas dirinya, akan menunjukkan derajat stress yang moderat. Agar siswa dapat menyikapi stress sekolah secara positif.


5.      Upaya Mengatasi Problem Stress Sekolah yang di Alami Peserta Didik
Dalam upaya menanggulangi atau menangani kondisi stress peserta didik,sekolah sebagai institusi pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Berikut ini akan dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan guru dalam mengatasi stress yang di alami peserta didik:
a)      Menciptakan iklim sekolah yang kondusif
b)      Melaksanakan program pelatihan penanggulangan stress
c)      Mengembangkan resiliensi peserta didik































BAB III
PENUTUP

            SIMPULAN

1.      Faktor-faktor yang mempengaruhi timbal balik kegiatan peserta didik dengan belajar adalah:
a.    Perkembangan Fisik
b.    Pengaruh Psikis
1)         Perhatian
2)         Minat
3)         Bakat
4)         Motivasi
c.    Lingkungan Sosial dan Nonsosial

2.      Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan mendidik anak di rumah, antara lain:
a.    Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak.
b.    Menjamin kehidupan emosional anak.
c.    Menanamkan dasar pendidikan moral anak.
d.   Memberikan dasar pendidikan sosial.
e.    Meletakan dasar-dasar pendidikan agama.
f.     Bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan anak.
g.    Memberikan kesempatan belajar dengan mengenalkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi   kehidupan kelak sehingga ia mampu menjadi manusia dewasa yang mandiri.

3.      Suatu alternatif yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan sekolah dalam perannya sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah, antara lain:
a.    Pengajaran yang mendidik
b.     Peningkatan dan pemantapan program bimbingan dan penyuluhan (BP) di sekolah.
c.    Pengembangan perpustakaan sekolah
d.   Peningkatan Program pengelolaan sekolah



4.      Sumber Stres Sekolah
a.    Physical demands (tuntutan fisik)
b.    Task demand (tuntutan tugas)
c.    Role demands (tuntutan peran)
d.   Interpersonal demands (tuntutan interpersonal)

Rice secara garis besarnya membedakan 2 tipologi sumber stres sekolah, yaitu:
a.    Personal and Social stressor
b.    Academic Stressor

Gejala-gejala stress pada anak adalah sebagai berikut:
a.    Anak menampilkan tanda-tanda depresi
b.    Mudah marah dan kehilangan minat pada aktivitas pavoritnya
c.    Lelah, gelisah dan agitasi
d.   Mengeluh sakit fisik seperti sakit perut (mencret) ataupun sakit kepala
e.    Minat belajar menurut dan prestasi yang anjlok
f.     Kemungkinan anak akan berubah tingkah laku dari seorang yang ramah menjadi pendiam, ataupun sebeliknya dari seorang yang penurut menjadi seorang yang sering membantah
g.    Anak berubah menjadi seorang pembohong bahkan mencuri atau melakukan perbuatan jahat lainnya sebagai bentuk pelarian.
h.    Anak kurang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas rumah
i.      Anak menjadi lebih tergantung dengan orang tua atau mengacuhkan orang tua
j.      Kurang percaya diri dan bersikap malas

Apabila stress sekolah yang dialami remaja berada pada taraf yang tinggi atau sangat serius, maka kemungkinan akan mebawa dampak negatif bagi perkembangannya. Sebaliknya, apabila sress sekolah yang dialami siswa berada pada taraf yang moderat, maka dapat berdampak positif.

Upaya yang dapat dilakukan guru dalam mengatasi stress yang di alami peserta didik:
a.    Menciptakan iklim sekolah yang kondusif
b.    Melaksanakan program pelatihan penanggulangan stress
c.    Mengembangkan resiliensi peserta didik




DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. PT. Remaja Rosda karya.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. PT. Remaja Rosdakarya.